Chat dengan kami disini
Pemerintah bertekad untuk menyinergikan regulasi dan tata kelola pemerintahan yang baik guna menunjang pertumbuhan ekonomi nasional yang pada 2018 diproyeksikan tumbuh sebesar 5,4%. Inilah yang dicanangkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo. Tentu saja ini kabar positif bagi perbankan yang memang pertumbuhannya sangat bergantung pada atmosfer ekonomi, terlebih pada tahun 2017 lalu kredit perbankan masih lemah lesu termasuk di tingkat nasional. Bahkan di Bali, kondisinya lebih was-was, dengan status erupsi Gunung Agung yang berdampak pada perekonomian.
Kondisi inilah yang kemudian menjadi wacana diskusi dalam Focus Group Discussion 2018 Batch I yang di gelar oleh BPR Lestari pada tanggal 8 Februari lalu. Bertempat di Rumah Luwih Gianyar Bali, acara yang dimulai dari pukul 14.00 ini dihadiri oleh para direksi BPR yang ada di Bali dan luar Bali seperti Jawa Timur dan NTT, bertujuan mempertemukan dan mendiskusikan berbagai persoalan yang dihadapi BPR. Dengan tema “Penanganan Kredit Bermasalah & Dampak Erupsi Gunung Agung”, diskusi ini mencoba memetakan strategi, apa-apa saja yang harus dilakukan untuk menghadapi kondisi perekonomian kedepan dan tentu saja mengatasi masalah kredit macet dan dampak erupsi.
Diskusi di buka oleh Made Tutik Sri Andayani, Direktur Bisnis BPR Lestari, yang menyampaikan gambaran umum kondisi BPR di Indonesia yang rata-rata mengalami kesulitan, dibuktikan dengan kenaikan NPL, terutama pada tahun 2017. BPR yang mengandalkan kredit sebagai satu-satunya sumber pendapatan merasakan dampak dari kondisi ini. “Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama, harus segera diselesaikan, jangan ditunda-tunda karena masalah yang dihadapi oleh sebuah BPR akan mempengaruhi BPR yang lain,” ujar wanita kelahiran Buleleng, 25 September 52 tahun yang lalu ini.
Tutik menambahkan, badai finansial pasti terjadi, nasabah yang dulunya tak mengalami masalah kini mengalaminya, disebabkan oleh berbagai hal mulai dari bisnis yang surut hingga bencana erupsi. “Tinggal bagaimana kita menyikapi masalah tersebut, ada tiga hal yang menjadi fokus kita; kualitas kredit, biaya, dan people (SDM). Pada kredit mesti diperhatikan WL dan NPL, nasabah yang mengajukan kredit dicek dulu kira-kira mampu membayar atau tidak. Aspek legalitas menjadi penting, karena saat ini banyak terdapat rekening palsu, jadi kita mesti mampu memilah setiap proposal yang masuk. Juga biaya, terkadang kita menghadapi gugatan yang butuh biaya tinggi, di sini perlu SDM yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hukum (legal),” lanjutnya lagi.
Menurut lulusan Fakultas Pertanian Universitas Udayana ini, kunci penyelesaian masalah adalah kecepatan (speed), jangan menunda penyelesaian masalah, sebisa mungkin jika ada masalah segera diselesaikan mulai dari membina bisnis nasabah yang hampir mati hingga menjual aset nasabah yang merupakan opsi terakhir. “Kita harus bisa menyelesaikan masalah, jangan putus komunikasi dengan debitur terutama yang bermasalah. BPR adaah bank kecil dengan modal tak seberapa, jika kredit bermasalah dibiarkan akan dapat mempengaruhi modal. Jika ada yang “sakit” jangan tersenyum, karena bisa mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada BPR, “ terangnya.
Seusai pembuka diskusi FGD dilanjutkan dengan sesi sharing, tampil sebagai moderator Ketut Supamuda. Pembicara pertama adalah dari direksi BPR Karisma Kusuma, Malang-Jatim. Ia berbagi pengalaman tentang solusi kredit bermasalah yang banyak ada di Malang. Yang dilakukannya sebagai direksi antara lain pemetaankasus dan wilayah serta mendahulukan jaminan berupa SHM karena jaminan BPKB nilainya terus turun.
“Kami mengandalkan pendekatan kekeluargaan dalam penyelesaian masalah, nasabah diharapkan semampunya agar bisa membayar. Sejak saya masuk angka NPL cukup tinggi yang merupakan “warisan” dari Direksi lama dan membutuhkan waktu 9 tahun untuk menyelesaikannya. NPL saat ini sudah turun signifikan” ujarnya. Pembicara kedua, Rio Christian dari BPR KAS. Ditanya solusi penyelesaian kredit bermasalah, ia berujar kuncinya adalah banyak berdoa dan tak lupa menagih, menagih dan menagih. “Kami awalnya terlena pada bisnis properti, jika ada nasabah yang punya bisnis properti kami langsung beri kredit, namun ternyata kini bisnis properti ambruk. Saat ini kami lebih berfokus pada UMKM, walaupun kecil namun nyata ada penghasilan dan mitigasi resiko rendah,” ungkapnya.
Nyoman Sugita, dari BPR Dewata Candradana juga berbagi pengalaman soal BPR-nya yang pada tahun 2010 banyak memiliki kredit bermasalah hingga aset nasabah diambil oleh BPR lain. Dengan doa dan ketekunan saat ini NPL sudah turun. Tak hanya direksi BPR, pada FGD kali ini juga dihadiri Perbarindo yang dalam kesempatan tersebut hadir Ketua Perbarindo Badung, Agus Prima. Ia menyampaikan di Badung kini tercatat ada 52 BPR, tersebar dari Badung Utara hingga Nusa Dua dengan aset Rp. 54 Triliun. “Untuk NPL ada di bawah 5%, 5-10 % bahkan hingga dua digit. Pertumbuhan NPL tak bisa direm, menurut saya sepertinya kita tak bisa bekerja sendiri-sendiri perlu kerjasama antar BPR,” ungkapnya.
Made Sumardhana, dari Perbarindo Denpasar mengungkapkan masalah yang dihadapi BPR di Denpasar hampir sama dengan daerah lain yakni tingginya NPL. Kedepan, menurutnya perlu diadakan diskusi rutin seperti yang digagas BPR Lestari sebagai ajang berbagi (sharing) guna mencari solusi berbagai masalah yang ada.
Hal lain yang dibahas pada FGD adalah tentang penyelamatan kredit atau restrukturisasi yang di dalamnya menyangkut perubahan jangka waktu dan plafonering atau penataan kembali , sesuai POJK No. 16 Tahun 2011 yang diberlakukan saat ini pada BPR di Bali Timur, kawasan yang terdampak bencana erupsi Gunung Agung. I DGM Darmawijaya mengungkapkan, di Bali Timur saat ini ada 12 BPR. Dalam dengar pendapat dan pembahasan bersama anggota komisi XI DPR RI di Kuta beberapa waktu lalu diputuskan untuk wilayah Kabupaten Karangasem, daerah terdampak langsung erupsi Gunung Agung diberlakukan POJK No. 45 yang dikeluarkan secara resmi oleh OJK yang memuat tiga poin penting, yakni perlakukan khusus terhadap kredit, restrukturisasi tidak berencana, dan restrukturisasi pasca-erupsi.
“Sebenarnya dampak erupsi Gunung Agung bukan hanya Kabupaten Karangasem yang merasakan tapi juga seluruh Bali karena erupsi berdampak pada sektor pariwisata di Bali, dimana tingkat okupansi hotel turun drastis akibat banyak tamu yang membatalkan kunjungannnya ke Bali. Ini perlu dicarikan jalan keluar dan diskusi seperti ini penting dilakukan secara rutin,” katanya.
FGD yang berlangsung hampir dua jam diramaikan dengan sharing antar peserta diskusi tentang kondisi BPR di daerah masing-masing yang akhirnya berakhir dengan kesimpulan diantaranya: Pertama, menyelesaikan kredit bermasalah harus dilakukan secepat mungkin. Kedua, jalankan transparansi pada nasabah sehingga solusi yang diambil juga merupakan keinginan nasabah. Ketiga, jalankan PBI dan POJK yang ada, sehingga tetap on the track. Keempat, pada opsi terakhir lakukan pelelangan, sekarang dibantu dulu mencari pembeli, jika tidak dapat baru masukan lelang.
Investasi tanah kebun semakin diminati, terutama di kalangan investor yang ingin mendapatkan keuntungan jangka panjang. Selain dianggap lebih stabil dibandingkan instrumen investasi lainnya, tanah... Selengkapnya
Kredit multiguna menjadi pilihan populer bagi masyarakat Indonesia yang membutuhkan dana tambahan untuk berbagai keperluan. Jenis pinjaman ini menawarkan berbagai keuntungan yang bisa digunakan... Selengkapnya
Memiliki rumah sederhana yang nyaman adalah impian banyak keluarga. Dengan desain yang fungsional dan biaya yang terjangkau, rumah sederhana mampu memenuhi kebutuhan hunian tanpa mengorbankan... Selengkapnya